Apakah mengganggu orang lain sudah menjadi sifat dasar manusia sejak kecil? Atau apakah pihak sekolah terlalu sibuk untuk menghadapi masalah yang sangat menghantui mereka yang terlihat lebih lemah?
Pada Oktober tahun lalu, seorang murid SMP di Kyoto merasa tidak tahan karena diganggu terus-menerus oleh teman sekelasnya, sedangkan para guru seakan tidak peduli dan tidak menganggap serius permasalahan anak tersebut. Lalu apa yang anak itu lakukan? Dia melompat dari lantai 14 di apartemen orang tuanya. Bisa membayangkan bagaimana hancurnya tubuh murid tersebut? Dia baru berusia 13 tahun.
Teman-temannya, yang diduga menggangu anak tersebut, sama sekali tidak menunjukkan perasaan bersalahnya. Sang ayah lantas melaporkan kejadian tersebut dan mengadukan pihak sekolah ke polisi. Hasilnya? Polisi tidak bisa membuktikan siapa yang bersalah. Tujuh tahun lalu, seorang gadis yang baru berusia 12 tahun, Yumi Nakai, juga bunuh diri dengan melompat dari sebuah apartemen. Hingga hari ini kasusnya belum selesai. Tidak lupa juga kasus pada tahun 2010 dimana putri Aiko, cucu sang Kaisar Jepang, diganggu oleh teman-temannya sampai putri Aiko tidak mau masuk sekolah selama beberapa hari.
Kementerian Pendidikan Jepang secara resmi mencatat lebih dari
77.000 kasus "ijime" (perpeloncoan) dalam setahun, dari yang ringan
sampai yang berat. Pertanyaan yang paling sering diutarakan adalah;
Haruskah perpeloncoan di sekolah disamakan dengan tindak kejahatan
pidana dan para pelakunya (yang masih dibawah umur) harus dimasukkan ke
penjara selama bertahun-tahun?
Dalam mencari jawabannya, para orang tua menelaah beberapa
penyiksaan yang tampaknya mendorong seorang anak untuk melompat bunuh
diri. Diantaranya adalah pemukulan fisik secara rutin, dipaksa memakan
serangga mati, dipaksa mencuri, dan yang paling parah, diajak bermain
permainan bunuh diri. Banyak yang mengatakan bahwa kekuatan hukum penuh
adalah satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh anak-anak "tangguh" itu.
Bukan hukum sekolah, bukan hukum orang tua, dan juga bukan hukum
kekeluargaan.
"Anak-anak melakukannya karena hati mereka sendiri terganggu," kata
Shinichiro Hori, kepala sekolah Kinokuni Children's Village. "Dengan
situasi dan kondisi masyarakat yang memaksakan cita-cita tinggi pada
mereka, mereka sendiri tidak dapat bernapas. Hati mereka seakan tidak
mendapatkan cukup oksigen, lalu mereka mencari kesenangan lain yaitu
dengan menggangu anak-anak yang terlihat lebih lemah. Tentu anda bisa
menghukum mereka, tapi itu tidak akan menyelesaikan akar
permasalahannya."
"Yang paling penting adalah anak-anak harusnya bahagia di sekolah.
Untuk itu terjadi, para guru pun harus bergairah dalam apa yang mereka
kerjakan di sekolah. Tapi apa yang terjadi? Apakah guru senang dengan
pekerjaannya? Tidak. Mereka terlalu dibebani dengan tanggung jawab
administratif," kata Shinichiro. "Guru perlu bebas untuk menggunakan
imajinasi mereka. Tanpa adanya perubahan radikal di sistem pendidikan
kita dari yang paling atas sampai bawah, saya sangat ragu masalah ini
bisa diselesaikan."
Kasus perpeloncoan yang pertama kali menarik perhatian seluruh
Jepang terjadi pada tahun 1986 dimana seorang anak berusia 13 tahun
gantung diri dalam sebuah kamar mandi di pusat perbelanjaan di Tokyo.
Dia meninggalkan catatan yang menjelaskan jenis penyiksaan yang
dialaminya yaitu "pemakaman tiruan" - lengkap dengan bunga dan dupa -
dengan dirinya sebagai mayat. Inilah yang disebut sebagai permainan
"praktek bunuh diri" yang terkenal di kalangan remaja Jepang.
Perpeloncoan = ijime / いじめ
No comments:
Post a Comment