Jepang
yang mempunyai kebudayaan yang unik membuat Negara bunga sakura itu
banyak di kenal masyarakat dunia salah satunya Indonesia, kebudayaan
jepang yang sampai saat ini masih dilakukan dalam berbagai kesempatan
misalkan perayaan hanami, di karenakan masyarakat jepang mencintai
kebudayaannya sendiri dan mau menjaganya. Orang jepang mau memakai
pakaian seberat dan setebal kimono untuk sekedar menghadiri upacara
resepsi pernikahan, sekarang kita tau bagaimana cintanya warga jepang
pada kebudayaannya sendiri. Adakalanya kita perlu mengetahui seperti apa
kebudayaan jepang itu, mungkin dengan mengetahui beberapa kebudayaan
jepang kita bisa sedikit meniru cara melestarikan kebudayaannya, mungkin
bisa saja kebudayaan kita tetap terjaga dan tetap di lakukan seperti
kebudayaan jepang, berikut beberapa contoh kebudayaan jepang:
· Perayaan hanami
· Samurai
· Shogun
· Baju tradisional jepang
PERAYAAN HANAMI
Hanami
(hana wo miru = melihat bunga) atau
ohanami adalah tradisi Jepang dalam menikmati keindahan bunga, khususnya bunga sakura. Mekarnya bunga sakura merupakan lambang kebahagiaan telah tibanya musim semi. Selain itu, hanami juga berarti piknik dengan menggelar tikar untuk pesta makan- makan di bawah pohon
ohanami adalah tradisi Jepang dalam menikmati keindahan bunga, khususnya bunga sakura. Mekarnya bunga sakura merupakan lambang kebahagiaan telah tibanya musim semi. Selain itu, hanami juga berarti piknik dengan menggelar tikar untuk pesta makan- makan di bawah pohon
sakura.
Rombongan
demi rombongan berpiknik menggelar tikar dan duduk-duduk di bawah
pepohonan sakura untuk bergembira bersama, minum sake, makan makanan
khas Jepang, dan lain-lain layaknya pesta kebun. Semuanya bergembira.
Ada kelompok keluarga, ada kelompok perusahaan, organisasi, sekolah dan
lain-lain.
Menurut
kisah sejarah, kebiasaan hanami dipengaruhi oleh raja-raja Cina yang
gemar menanam pohon plum di sekitar istana mereka. Di Jepang para
bangsawanpun kemudian mulai menikmati bunga Ume (plum). Namun pada abad
ke-8 atau awal periode Heian, obyek bunga yang dinikmati bergeser ke
bunga sakura. Dikisahkan pula bahwa Raja Saga di era Jepang dahulu gemar
menyelenggarakan pesta hanami di taman Shinsenendi Kyoto. Para
bangsawanpun menikmati hanami di berbagai istana mereka, dan para petani
masa itu melakukannya dengan mendaki gunung terdekat di awal musim semi
untuk menikmati bunga sakura yang tumbuh disana sambil tidak lupa
membawa bekal untuk makan siang. Hingga kini hanami menjadi kebiasaan
yang mengakar di seluruh masyarakat Jepang dan telah di terima sebagai
salah satu kekhasan bangsanya. Khusus di daerah Kansai dan Jepang Barat,
tempat-tempat unggulan untuk ber-hanami adalah Arashiyama di Kyoto,
Yoshino di Nara, taman disekitar Osaka Castle dan Taman Shukugawa di
Nishinomiya, Prefektur Hyogo.
Waktu
bunga sakura bermekaran di pohonnya berbeda-beda dari satu daerah ke
daerah lainnya, dimulai dari daerah paling selatan. Tapi rata-rata mekar
dari akhir Maret hingga awal April (kecuali di Okinawa dan Hokkaido).
Dengan demikian pesta memandang dan menikmati sakura juga berlainan
waktunya dari satu daerah ke daerah lainnya. Prakiraan pergerakan
mekarnya bunga sakura disebut garis depan bunga sakura (sakurazensen).
Prakiraan ini dikeluarkan oleh direktorat meteorologi dan berbagai badan
yang berurusan dengan cuaca. Saat melakukan hanami di suatu tempat
adalah ketika semua pohon sakura yang ada di tempat tersebut bunganya
sudah mekar semua.
Namun
akhir-akhir ini tradisi hanami membawa dampak negatif. Banyak orang
Jepang yang mabuk dan angka kecelakaan pun meningkat. Taman pun menjadi
gunung sampah. Di saat hanami kelihatannya kesadaran tertib buang sampah
menjadi luntur. Sayang sekali. Tapi di sisi lain, hanami seperti sebuah
`rehat` singkat dari striknya hidup orang-orang Jepang. Hanami juga
merupakan pembelajaran berharga bagi anak tentang alam dan tradisi.
Osaka
Osaka
Castle di kota Osaka termasuk salah satu tempat favorit untuk
ber-hanami. Para peneliti memperkirakan bahwa wilayah yang kini dikenal
dengan nama kota Osaka telah dihuni manusia sejak sepuluh ribu tahun
lalu. Sekitar abad ke-5, kebudayaan Timur telah diperkenalkan ke wilayah
Jepang melalui Peninsula Korea lalu Osaka yang dikemudian hari menjadi
pusat kebudayaan dan politik Jepang.
Pada
abad ke-7, ibukota pertama Jepang didirikan di Osaka dan ia menjadi
pintu gerbang kebudayaan dan perdagangan utama Jepang. Kemudian suatu
saat sekitar akhir abad ke-12 kekuatan politik disana jatuh ketangan
kelas pendekar perang dan Jepang mulai memasuki masa perselisihan sipil
dan intrik muncul dimana-mana hingga menumbuhkan ketidakpastian masa
depan rakyatnya.
Pada
tahun 1583, Toyotomi Hideyoshi seorang penguasa dimasanya berhasil
menyatukan Jepang dari masa kelam ini dan kemudian memilih Osaka sebagai
tempat tinggalnya. Ia membangun Osaka menjadi pusat politik serta
ekonomi Jepang. Puri Osaka atau Osaka Castle merupakan salah satu saksi
bisu kemegahan masa itu dan menjadi bangunan terindah yang didirikan
oleh Toyotomi Hideyoshi. Puri ini dikelilingi taman yang penuh pohon
Cherry, Plum dan Sakura serta berbunga indah saat musim semi. Bunga yang
menjadi kebanggaan masyarakat setempat serta mengundang kekaguman para
pengunjung saat ber-hanami.
Di
abad ke-17 walalupun pusat kekuatan politik telah bergeser ke Tokyo,
Osaka terus berlanjut memainkan peran yang penting dalam mengatur
perekonomian dan distribusi barang di Jepang. Di masa ini pula
kebudayaan kota berkembang pesat antara lain melalui lahirnya
sekolah-sekolah yang dikelola pihak swasta dengan sistim pendidikan yang
berbeda dari yang dilaksanakan oleh pemerintah dimasa itu. Melalui cara
ini, cara berpikir terbuka dan semangat berwirausaha telah dipupuk dan menjadikan Osaka dikemudian hari menjadi suatu kota metropolis yang modern serta menjadi kota terbesar ketiga di Jepang.
Pada masa lalu, Osaka memang pernah menjadi pusat perdagangan Jepang. Kini, seiring dengan kemajuan jaman, sejak akhir tahun 1990an banyak perusahaan-perusahaan terkemuka memindahkan kantor pusat mereka ke Tokyo. Namun beberapa tetap mempertahankan tradisi berkantor pusat di Osaka.
SAMURAI
Istilah samurai (侍
), pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi kepada
bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan saburau
dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang
mengacu kepada samurai yakni bushi. Istilah bushi (武 士 ) yang berarti “orang yang dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi (続 日 本 紀
), pada bagian catatan itu tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang
(bushi) adalah harta negara”. Kemudian berikutnya istilah samurai dan
bushi menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman Kamakura).
Pada
zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah
saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi
“orang yang mengabdi”.
Namun
selain itu dalam sejarah militer Jepang, terdapat kelompok samurai yang
tidak terikat/mengabdi kepada seorang pemimpin/atasan yang dikenal
dengan rōnin (浪 人
). Rōnin ini sudah ada sejak zaman Muromachi (1392). istilah rōnin
digunakan bagi samurai tak bertuan pada zaman Edo (1603 – 1867).
Dikarenakan adanya pertempuran yang berkepanjangan sehingga banyak
samurai yang kehilangan tuannya. kehidupan seorang rōnin bagaikan ombak
dilaut tanpa arah tujuan yang jelas. Ada beberapa alasan seorang samurai
menjadi rōnin. Seorang samurai dapat mengundurkan diri dari tugasnya
untuk menjalani hidup sebagai rōnin. Adapula rōnin yang berasal dari
garis keturunan, anak seorang rōnin secara otomatis akan menjadi rōnin.
Eksistensi rōnin makin bertambah jumlahnya diawali berakhirnya perang
Sekigahara (1600), yang mengakibatkan jatuhnya kaum samurai/daimyo yang
mengakibatkan para samurai kehilangan majikannya.
Dalam
catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan
bahwa pada zaman Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang mengikuti
model yang ada di Cina dengan memberlakukan wajib militer dan dibawah
komando langsung Kaisar. Dalam peraturan yang diberlakukan tersebut
setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun bangsawan,
kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer. Secara materi
peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum milter
harus membekali diri secara materi sehingga banyak yang menyerah dan
tidak mematuhi peraturan tersebut. Selain itu pula pada waktu itu kaum
petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berarti sehingga mereka
melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang kemudian terbentuk dari
wajib militer tersebut dikenal dengan sakimori (防 人
) yang secara harfiah berarti “pembela”, namun pasukan ini tidak ada
hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya.
Setelah
tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum
bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah
pemerintahan kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang dibentuk oleh
pemerintah pusat justru menekan para penduduk yang mayoritas adalah
petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan pemberontakan di
daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan tuan
tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih
besar. Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap
tuan tanah pun terjadi baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para
pemilik shoen (tanah milik pribadi) mempersenjatai keluarga dan para
petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas militer yang
dikenal dengan samurai.
Kelompok
toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto
muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka
saling memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga
Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan
berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan. Kaisar Gonjo yang dikenal
anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan
politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar
Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai
markas politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi
keagamaan dan fungsi politik.
Tentara pengawal o-tera, souhei (僧 兵
) pun ia bentuk, termasuk memberi sumbangan tanah (shoen) pada o-tera.
Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai “negara” di dalam
negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera
mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto
yang sedang bertikai.
Keterlibatan
Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada
kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara
Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara
Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana,
muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang
Heiji (1159). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai
perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya,
kaum samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana.
Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge (公 家
- bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya.
Sebagian besar keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai
bangsawan.
Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333). Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.
Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan armada Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze (dewa angin).
Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima perang. Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokuchō tairitsu).
Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi kaum petani dan tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin lemahnya shogun Ashikaga di pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga tidak dapat mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi dan kekuasaannya di wilayah masing-masing. Setiap Han13 seolah terikat dalam sebuah negara-negara kecil yang saling mengancam. Kondisi ini melahirkan krisis panjang dalam bentuk perang antar tuan tanah daerah atau sengoku jidai (1568 – 1600). Tetapi krisis panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau kristalisasi tokoh pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah daerah, sekaligus menyatukan Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu pemerintahan pusat yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan Toyotomi
Hideyoshi.
Oda
Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli
strategi militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara
menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe
sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara luar, Nara yang
merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat pemerintahan
Bakufu Muromachi dan istana kaisar.
Strategi terpenting yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan
melibatkan agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang
membawa agama Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di
seluruh Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia
secara leluasa dapat memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam
kapal-kapal dagang Portugis, sekaligus memonopoli perdagangan dengan
pihak asing. Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa
itu), Oda akan dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan
mempertahankan wilayah yang telah dikuasainya serta membentuk
pemerintahan pusat yang kokoh. Oda Nobubunaga membangun benteng Azuchi
Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil menjatuhkan Bakufu Muromachi.
Strategi Oda dengan melindungi agama Kristen mendatangkan sakit hati
bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikutnya
sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik,
pada tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang.
Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya. Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata. Keberhasilan Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran bakufu Muromachi.
Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang dikenal dengan istilah gekokujō ini telah muncul tatkala Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa Ieyasu mulai memperkuat posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo). Kemelut ini menyulut perang besar antara kelompok-kelompok daimyo yang memihak Toyotomi
melawan daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang Sekigahara pada
tahun 1600. Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan
didirikannya bakufu Edo pada tahun 1603.
KEMATIAN SAMURAI
Kematian
dianggap sebagai jalan yang mulia bagi seorang samurai daripada
tindakan pahlawan-pahlawan lain. Cara kematian dianggap suatu hal yang
sangat penting bagi seorang samurai. Ajaran yang menerangkan mengenai
“mati yang terbaik” telah ditulis di dalam sebuah buku, Hagakure pada
kurun ke-18. Ditulis lama selepas tentera samurai berangkat ke medan
peperangan, Hagakure - buku tersebut dikatakan telah membawa semangat
dan panji samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Tidak dapat
dinafikan, wujudnya satu idealisme yang baik di dalam buku tersebut
tetapi telah telah disalahtafsirkan oleh para samurai kerana kekaburan
maksud kalimatnya. Malah, contoh utama yang boleh dipaparkan di sini
terletak di Bab Pendahuluan buku Hagakure itu sendiri: “Jalan Samurai
ditemui dalam kematian. Apabila tiba kepada kematian, yang ada di sini
hanya pilihan yang pantas untuk kematian.”
Baris-baris
kalimat di atas kemudian menjadi ayat-ayat yang paling popular dalam
kebanyakan buku dan majalah mengenai samurai atau budaya bela diri
masyarakat Jepang. Petikan di bawah merupakan antara isi kandungan buku
Hagakure: “Kita semua mau hidup. Dalam kebanyakan perkara kita melakukan
sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi sekiranya tidak mencapai
tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang
pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan
Samurai (Bushido). Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu akan dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat kebebasan dalam Jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang dihajatinya.”
Buku Hagakure telah mempengaruhi kehidupan para samurai. Kematian Nobufusa dan Taira Tomomori juga dipengaruhi oleh buku ini. Taira Tomomori boleh dianggap sebagai Jeneral Taira yang paling agung, telah membunuh diri kerana nasihatnya telah diabaikan pada saat-saat akhir ketika Perang Gempei. Pada pengakhiran konfrontasi ketika Perang Gempei, Tomomori telah mendesak rajanya, Munemori, supaya menyingkirkan seorang jeneral yang diragui kesetiaannya. Munemori telah menolak usulnya, dan ketika berlangsungnya Pertempuran Dan no Ura (1185), jeneral tersebut telah mengkhianati perjuangan Taira. Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan, Tomomori membuat keputusan untuk menamatkan riwayatnya sendiri. Seterusnya kita akan bincangkan mengenai Dua Kematian Cara Samurai iaitu Mati Di Medan Pertempuran dan Seppuku.
CARA KEMATIAN
1. Mati di medan pertempuran
Sebagaimana
pejuang-pejuang Islam yang menganggap mati syahid dalam peperangan
untuk membela Islam sebagai satu kemuliaan, begitu juga dengan para
samurai. Mati dibunuh di medan perang adalah lebih baik daripada hidup
tetapi ditangkap oleh musuh. Salah seorang samurai yang terkenal, Uesugi
Kenshin sempat meninggalkan pesanan kepada para pengikutnya sebelum
mati:
“Seseorang
yang tidak mau mati karena tertusuk panah musuh tidak akan mendapat
perlindungan daripada Tuhan. Bagi kamu yang tidak mau mati karena
dipanah oleh tentara biasa, karena mau mati di tangan pahlawan yang
handal atau terkenal, akan mendapat perlindungan Tuhan.”
Tidak
ada samurai yang pernah terhindar daripada bayangan maut semasa di
medan perang. Kebanyakan nama besar dalam dunia samurai tumbang di medan
perang. Ayah Uesugi Kenshin terbunuh di dalam pertempuran, sebagaimana
Imagawa Yoshimoto, Ryuzoji Takanobu, Saito Dosan, Uesugi Tomosada...
sementara yang lain telah mengambil keputusan untuk membunuh diri
selepas perjuangan mereka telah dipatahkan, dari zaman Minamoto Yorimasa
(kurun ke-12) sampai pada zaman Sue Harukata (kurun ke-16).
Kebiasaanya, seseorang samurai akan membuat puisi kematian ketika
menjelang maut.
2. Seppuku
Tindakan di mana seseorang menyobek perutnya, sebagai suatu cara
membunuh
diri. Merupakan unsur yang paling popular dalam mitos samurai. Bagi
seorang samurai, membunuh diri adalah lebih baik daripada membiarkan
ditangkap, karena sekiranya samurai itu masih hidup dan ditangkap, ia
dianggap membawa malu kepada nama keluarga dan raja. Di Barat, cara
membunuh diri ini dipanggil Hara-kiri (artinya tindakan Membunuh Diri
dengan membelah perut – tetapi istilah ini tidak digunakan oleh para
samurai), tidak diketahui kapan istilah itu digunakan. Walau bagaimana
pun, seperti yang tercatat dalam sejarah, Seppuku ini mula dilakukan
oleh Minamoto Tametomo dan Minamoto Yorisama pada akhir kurun ke-12.
Dari sinilah asalnya seorang samurai memilih cara ini karena lebih mudah
melakukan dibandingkan membunuh diri dengan cara memenggal kepala
sendiri. Ada juga yang mengatakan bahawa dengan melakukan seppuku, iaitu
dengan membelah perut adalah merupakan cara yang paling jujur untuk
mati. Ini karena, dia sebelum mati akan merasai kesakitan yang amat
sangat dan ini mungkin tidak berani dihadapi oleh kebanyakan orang. Oleh
karena itu, mati dengan cara seppuku dianggap sebagai suatu keberanian
dan kehormatan.
Pada
zaman Edo, seppuku telah menjadi sebagai salah satu upacara terhormat
dalam kebudayaan Jepang. Mula-mula, karpet tatami putih akan
dikeluarkan, kemudian satu bantal yang besar akan diletakkan di atasnya .
Para saksi pembunuhan akan berdiri di sebelah samurai tersebut (pelaku
seppuku), bergantung kepada pentingnya kematian (sebagai satu nilai
penghormatan kepada pelaku seppuku). Samurai yang menjalani seppuku,
memakai baju kimono putih, akan duduk berlutut (seiza) di atas bantal
tersebut. Di sebelah kiri, pada jarak kira-kira satu meter dari samurai
tersebut, seorang kaishakunin, atau `kedua’ akan turut berlutut.
Kaishakunin
atau `Kedua’ adalah sahabat akrab kepada samurai yang telah meninggal
kerana melakukan seppuku. Karena perbuatan ini dianggap tidak senonoh
dan amat memalukan (tabu), maka hanya orang-orang yang layak dan
terpilih (berkesanggupan untuk melakukan tugas membantu) saja yang akan
menjadi kaishakunin.
Di
depan samurai (pelaku seppuku) ini akan ada sebilah pisau bersarung
yang terletak di dalam talam. Apabila samurai tersebut merasakan dia
telah siap, samurai tersebut akan menanggalkan kimononya dan membebaskan
bagian perutnya. Kemudian dia akan mengangkat pisau dengan sebelah
tangan, manakala sebelah tangan lagi menanggalkan sarung pisau tersebut
dan meletakkannya ke tepi . Apabila dia telah bersedia, dia akan
mengarahkan mata pisau tersebut pada sebelah kiri perut, dan
menggoreskannya ke kanan. Selepas itu, pisau tersebut akan diputar dalam
keadaan masih terbenam di dalam perut dan ditarik ke atas. Kebanyakan
samurai tidak sanggup lagi untuk melakukan tindakan ini, maka ketika
inilah kaishakunin (artinya kedua) akan memenggal kepala samurai
tersebut setelah melihat sejauh mana kesakitan yang terpapar pada
wajahnya.
Tindakan
yang dilakukan sampai selesai dikenali sebagai jumonji (crosswise),
sayatan bintang, dan seandainya samurai (pelaku seppuku) dapat
melakukannya, maka seppuku yang dilakukannya dianggap amat bernilai dan
disanjung tinggi. Seppuku juga mempunyai nama-nama tertentu, bergantung
kepada fungsi atau sebab melakukannya:
Junshi:
Dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada raja, apabila raja tersebut
meninggal. Pada zaman Edo, junshi telah diharamkan karena dianggap
sia-sia dan merugikan karena negara akan banyak kehilangan perwira yang
setia. Semasa kematian Maharaja Meiji pada 1912, Jeneral Nogi Maresue
telah melakukan junshi.
Kanshi:
Membunuh diri semasa demonstrasi. Tidak begitu popular, melibatkan
seseorang yang melakukan seppuku sebagai tanda peringatan kepada
seseorang raja apabila segala bentuk musyawarah (persuasion) gagal.
Hirate Nakatsukasa Kiyohide (1493-1553) telah melakukan kanshi untuk
mengubah prinsip dan pemikiran Oda Nobunaga.
Sokotsu-shi:
Seseorang samurai akan melakukan seppuku sebagai tanda menebus
kesalahannya. Ini merupakan sebab yang paling popular dalam melakukan
seppuku. Antara samurai yang melakukan sokotsu-shi ini termasuklah
Jeneral Takeda, Yamamoto Kansuke Haruyuki (1501-1561), karena telah
membuat satu rencana yang akhirnya meletakkan posisi rajanya di dalam
bahaya.
SHOGUN
Shogun (将 軍Shō
gun) adalah istilah bahasa Jepang yang berarti jenderal. Dalam konteks
sejarah Jepang, bila disebut pejabat shogun maka yang dimaksudkan
adalahSei-i Taishōgun (征 夷 大 将 軍 ) yang berarti Panglima Tertinggi
Pasukan
Ekspedisi melawan Orang Biadab (istilah "Taishōgun" berarti panglima
angkatan bersenjata). Sei-i Taishōgun merupakan salah satu jabatan
jenderal yang dibuat di luar sistem Taihō Ritsuryō. Jabatan Sei-i
Taishōgun dihapus sejak Restorasi Meiji. Walaupun demikian, dalam bahasa
Jepang, istilah shōgun yang berarti jenderal dalam kemiliteran tetap
digunakan hingga sekarang.
Sejak
zaman Nara hingga zaman Heian, jenderal yang dikirim untuk menaklukkan
wilayah bagian timur Jepang disebut Sei-i Taishōgun, disingkat shogun.
Jabatan yang lebih rendah dari Sei-i Taishōgun disebut Seiteki Taishōgun
(征 狄 大 将 軍 panglima penaklukan orang barbar?) dan Seisei Taishōgun (征 西 大 将 軍 panglima penaklukan wilayah barat?).
Gelar
Sei-i Taishōgun diberikan kepada panglima keshogunan (bakufu) sejak
zaman Kamakura hingga zaman Edo. Shogun adalah juga pejabatTōryō (kepala
klan samurai) yang didapatkannya berdasarkan garis keturunan.
Pejabat
shogun diangkat dengan perintah kaisar, dan dalam praktiknya berperan
sebagai kepala pemerintahan/penguasa Jepang. Negara asing mengganggap
shogun sebagai "raja Jepang", namun secara resmi shogun diperintah dari
istana kaisar, dan bukan penguasa yang sesungguhnya. Kekuasaan tertinggi
tetap berada di tangan Kaisar Jepang.
Sejarah
Zaman Nara dan zaman Heian
Kata
"Sei-i" dalam Sei-i Taishōgun berarti penaklukan suku Emishi yang
tinggal di wilayah timur Jepang. Suku Emishi dinyatakan sebagai orang
barbar oleh orang Jepang zaman dulu. Sei-i Taishōgun memimpin pasukan
penyerang dari arah pesisir Samudra Pasifik, dan di bawah komandonya
terdapat Seiteki Taishōgun yang memimpin pasukan penyerang dari arah
pesisir Laut Jepang. Selain itu dikenal Seisei Taishōgun yang memimpin
pasukan penakluk wilayah Kyushu di bagian barat Jepang.
Dalam
perkembangannya, istilah "Sei-i" (penaklukan suku Emishi) diganti pada
zaman Hōki menjadi "Sei-tō" (penaklukan wilayah Timur). Namun istilah
"penaklukan suku Emishi" (Sei-i)
kembali digunakan sejak tahun 793. Istilah "Sei-i Shōgun" (jenderal
penaklukan suku Emishi) mulai dipakai dalam dokumen resmi sejak tahun
720 (Yōrō tahun 4 bulan 9 hari 29) ketika Tajihi Agatamori diangkat
sebagai Sei-i Shōgun. Istilah "Sei-tō Shōgun" (jenderal penaklukan
wilayah timur) mulai dipakai sejak tahun 788 seperti catatan sejarah
yang ditulis Ki no Kosami (730-797) yang ikut serta dalam ekspedisi ke
wilayah timur.
Pada
tahun 790, Ōtomo no Otomaro ditugaskan sebagai Sei-tō Taishi (Duta
Besar Penaklukan Wilayah Timur). Dua tahun kemudian, nama jabatan
tersebut diganti menjadi Sei-i Shi (征 夷 使?, Duta Penaklukan Wilayah Timur), atau bisa juga disebut Sei-i Shōgun (Jenderal Penaklukan Wilayah Timur).
Sakanoue
no Tamuramaro diangkat sebagai Sei-i Taishōgun pada tahun 797 setelah
sebelumnya menjabat Wakil Duta Penaklukan Wilayah Timur sekaligus Wakil
Duta Penaklukan Suku Emishi di bawah komando Ōtomo no Otomaro. Pemimpin
Emishi bernama Aterei yang bertempur pantang menyerah akhirnya berhasil
ditangkap oleh Tamuramaro dan dibawa ke ibu kota, sedangkan selebihnya
berhasil ditaklukkan. Pada praktiknya, Sakanoue no Tamuramaro adalah
Sei-i Taishōgun yang pertama atas jasanya menaklukkan suku Emishi.
Selanjutnya dalam rangka peperangan melawan Emishi, Funya no Watamaro
diangkat
sebagai Sei-i Shogun (Jenderal Penaklukan Suku Emishi) pada tahun 811.
Perang dinyatakan berakhir pada tahun yang sama, dan wakil shogun
bernama Mononobe no Taritsugu naik pangkat sebagai Chinju Shōgun.
Istilah "chinjufu" berarti pangkalan militer yang terletak di Provinsi
Mutsu. Setelah itu, jabatan Sei-i Shōgun kembali dipulihkan sejak tahun
814.
Zaman Kamakura
Minamoto
no Yoritomo memulai karier militer sebagaiTōryō (kepala klan Minamoto)
di wilayah Kanto. Jabatan kepala klan bukan merupakan jabatan resmi di
bawah sistem hukum Ritsuryō, dan kedudukan Yoritomo tidak jauh berbeda
dengan Taira no Masakado atau pemimpin pemberontak lain di daerah.
Pada
tahun 1190, Yoritomo diangkat sebagai jenderal pengawal kaisar (Ukone
no Taishō) yang merupakan posisi resmi dalam pemerintahan. Jabatan
sebagai jenderal pengawal kaisar mengharuskannya tinggal di ibu kota
Kyoto. Jabatan ini tidak sesuai bagi Yoritomo yang berambisi menguasai
secara total wilayah Kanto. Yoritomo mengundurkan diri dari jabatan
jenderal pengawal kaisar, namun tetap mempertahankan hak istimewa
sebagai mantan jenderal tertinggi (Sakino-u Taishō).
Setelah
mantan Kaisar Go-Shirakawa mangkat, Minamoto Yoritomo diangkat sebagai
Sei-i Taishōgun pada tanggal 21 Agustus 1192. Pemerintahan militer yang
di dirikan Yoritomo di Kamakura dikenal sebagai Keshogunan Kamakura.
BAJU TRADISIONAL JEPANG
1. KIMONO
Kimono (着 物
) adalah pakaian tradisional Jepang. Arti harfiah kimono adalah baju
atau sesuatu yang dikenakan (ki berarti paka i, dan mono berarti
barang).
Pada
zaman sekarang, kimono berbentuk seperti huruf "T", mirip mantel
berlengan panjang dan berkerah. Panjang kimono dibuat hingga ke
pergelangan kaki. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan,
sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan
harus berada di bawah kerah bagian kiri. Sabuk kain yang disebut obi
dililitkan di bagian perut/pinggang, dan diikat di bagian punggung. Alas
kaki sewaktu mengenakan kimono adalah zōri atau geta. Kimono sekarang
ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang
belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut furisode. Ciri khas
furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan
yang genap berusia 20 tahun mengenakan furisode untuk menghadiri seijin
shiki.
Pria
mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara
formal lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional
diharuskan mengenakan kimono. Anak-anak mengenakan kimono ketika
menghadiri perayaan Shichi- Go-San. Selain itu, kimono dikenakan pekerja
bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita rumah makan
tradisional (ryōtei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).
Pakaian
pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome ishō) terdiri dari
furisode dan uchikake (mantel yang dikenakan di atas furisode). Furisode
untuk pengantin wanita berbeda dari furisode untuk wanita muda yang
belum menikah. Bahan untuk furisode pengantin diberi motif yang
dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang. Warna
furisode pengantin juga lebih cerah dibandingkan furisode biasa. Shiro
muku adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupa
furisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna
putih.
Sebagai
pembeda dari pakaian Barat (yōfuku) yang dikenal sejak zaman Meiji,
orang Jepang menyebut pakaian tradisional Jepang sebagai wafuku (和 服 , pakaian Jepang).
Sebelum
dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang
disebut kimono. Sebutan lain untuk kimono adalah gofuku (呉 服
). Istilah gofuku mulanya dipakai untuk menyebut pakaian orang negara
Dong Wu (bahasa Jepang : negara Go) yang tiba di Jepang dari daratan
Cina.
2. KIMONO WANITA
Terselubung
yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas kimono
wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna, mulai dari kimono paling
formal hingga kimono santai. Berdasarkan jenis kimono yang dipakai,
kimono bisa menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat
formalitas dari acara yang dihadiri.
Kurotomesode
Tomesode
adalah kimono paling formal untuk wanita yang sudah menikah. Bila
berwarna hitam, kimono jenis ini disebut kurotomesode (arti harfiah:
tomesode hitam). Kurotomesode memiliki lambang keluarga (kamon) di tiga
tempat: 1 di punggung, 2 di dada bagian atas (kanan/kiri), dan 2 bagian
belakang lengan (kanan/kiri). Ciri khas kurotomesode adalah motif indah
padasuso (bagian bawah sekitar kaki) depan dan belakang. Kurotomesode
dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan dan acara-acara yang sangat
resmi.
Irotomesode
Tomesode
yang dibuat dari kain berwarna disebut irotomesode (arti harfiah:
tomesode berwarna). Bergantung kepada tingkat formalitas acara, pemakai
bisa memilih jumlah lambang keluarga pada kain kimono, mulai dari satu,
tiga, hingga lima buah untuk acara yang sangat formal. Kimono jenis ini
dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah. Kimono jenis
irotomesode dipakai untuk menghadiri acara yang tidak memperbolehkan
tamu untuk datang memakai kurotomesode, misalnya resepsi di istana
kaisar. Sama halnya seperti kurotomesode, ciri khas irotomesode adalah
motif indah pada suso.
Furisode
Furisode
adalah kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan
berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian kain. Ciri
khas furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke
bawah. Furisode dikenakan sewaktu menghadiri upacara seijin shiki,
menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda, atau hatsu mode.
Pakaian pengantin wanita yang disebut hanayome ishō termasuk salah satu
jenis furisode.
Homongi
Hōmon-gi (訪 問 着
, arti harfiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk
wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk
memakai bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas
homongi adalah motif di seluruh bagian kain, depan dan belakang. Homongi
dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi pernikahan, upacara minum teh,
atau merayakan tahun baru.
Iromuji
Iromuji
adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila
iromuji tersebut memiliki lambang keluarga (kamon). Sesuai dengan
tingkat formalitas kimono, lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5
tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada). Iromoji dibuat
dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu,
biru muda, atau kuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan
lambang keluarga di 5 tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta
pernikahan. Bila menghadiri upacara minum teh, cukup dipakai iromuji
dengan satu lambang keluarga.
Tsukesage
Tsukesage
adalah kimono semiformal untuk wanita yang sudah atau belum menikah.
Menurut tingkatan formalitas, kedudukan tsukesage hanya setingkat
dibawah homongi. Kimono jenis ini tidak memiliki lambang keluarga.
Tsukesage dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh yang tidak begitu
resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan tahun baru.
Komon
Komon
adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri
khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil- kecil
yang berulang. Komon dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan
malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.
Tsumugi
Tsumugi
adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita
yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh
dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja dan
berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana
dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar.
Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di
ladang.
Yukata
Yukata (浴衣, baju sesudah mandi) adalah jenis kimono yang dibuat dari bahan kain katun
tipis tanpa pelapis. Dibuat dari kain yang mudah dilewati angin, yukata
dipakai agar badan menjadi sejuk di sore hari atau sesudah mandi malam
berendam dengan air panas.
Menurut
urutan tingkat formalitas, yukata adalah kimono nonformal yang dipakai
pria dan wanita pada kesempatan santai di musim panas, misalnya sewaktu
melihat pesta kembang api, matsuri (ennichi), atau menari pada perayaan
obon. Yukata dapat dipakai siapa saja tanpa mengenal status, wanita
sudah menikah atau belum menikah. Gerakan dasar yang harus dikuasai
dalam nihon buyo selalu berkaitan dengan kimono. Ketika berlatih tari,
penari mengenakan yukata sebagai pengganti kimono agar kimono berharga
mahal tidak rusak karena keringat. Aktor kabuk i mengenakan yukata
ketika berdandan atau memerankan tokoh yang memakai yukata. Pegulat sumo
memakai yukata sebelum dan sesudah bertanding.
Musim
panas berarti musim pesta kembang api dan matsuri di Jepang. Jika
terlihat orang memakai yukata, berarti tidak jauh dari tempat itu ada
matsuri atau pesta kembang api.
Warna dan corak yukata
Bahan
yukata pria umumnya berwarna dasar gelap (hitam, biru tua, ungu tua)
dengan corak garis-garis warna gelap. Wanita biasanya mengenakan yukata
dari bahan berwarna dasar cerah atau warna pastel dengan corak aneka
warna yang terang.
Walaupun
umumnya dibuat dari kain katun, yukata zaman sekarang juga dibuat dari
tekstil campuran, seperti katun bercampur poliester. Berbeda dengan
kimono jadi yang hampir-hampir tidak ada toko yang menjualnya, yukata
siap pakai dalam berbagai ukuran dijual toko dengan harga terjangkau.
Corak
kain yang populer untuk yukata wanita, misalnya bunga sakura, seruni,
poppy, bunga-bunga musim panas. atau ikan mas koki. Karakter anime
seperti Hamtaro, Pokemon, dan Hello Kitty populer sebagai corak yukata
untuk anak-anak.
Cara memakai
Hotel
atau ryokan di Jepang menyediakan yukata untuk dipakai tamu sebagai
pakaian tidur. Sebagai pakaian tidur, yukata bisa dikenakan begitu saja
tanpa mengenakan pakaian dalam. Ketika dipakai pria untuk keluar rumah,
yukata biasanya dikenakan tanpa kaus dalam, dan cukup memakai celana
dalam atau celana pendek. Berbeda dengan kimono yang dikenakan dengan
dua lapis pakaian dalam (hadajuban dan juban), sewaktu mengenakan
yukata, wanita hanya perlu hadajuban (pakaian dalam lapis pertama). Alas
kaki sewaktu memakai yukata adalah geta.
Yukata
dikencangkan ke tubuh pemakai dengan obi yang lebarnya setengah dari
lebar obi untuk kimono jenis lain. Di antara berbagai jenis simpul obi
untuk yukata, bentuk simpul yang paling populer adalah simpul bunko yang
berbentuk kupu-kupu. Bila tidak bisa membuat simpul, toko kimono
menjual simpul obi yang sudah jadi dan tinggal disisipkan pada obi.
Wanita
mengenakan yukata yang pas dengan ukuran tubuh pemakai agar terlihat
bagus sewaktu dipakai. Seperti halnya kimono, panjang yukata selalu
melebihi tinggi badan pemakai. Perlengkapan memakai yukata wanita:
· Rok panjang (susoyoke) sebagai pakaian dalam, berwarna putih polos.
· Pakaian dalam (hadajuban)
· Tali
pinggang (koshihimo) untuk mengencangkan kain berlebih di bagian
pinggang yang berasal dari kelebihan panjang kain pada bagian bawah
· Kain sabuk pengikat (datejime) untuk mengencangkan kain yang longgar di bagian perut
· Obi untuk mengencangkan yukata ke badan.
Sejarah
Istilah yukata berasal dari kata yukatabira (浴衣帷子).
Mulanya katabira dipakai untuk menyebut sehelai kimono dari kain rami.
Walaupun tidak lagi dibuat dari kain rami, pakaian seperti itu tetap
disebut katabira. Kimono kain rami dipakai sebagai pakaian sewaktu mandi
berendam, namun akhirnya berubah fungsi sebagai pakaian sesudah mandi.
Ketika rumah-rumah di Jepang belum memiliki kamar mandi, yukata dipakai
orang untuk pergi ke pemandian umum.
Dalam kamus Wamyō Ruijushō dari pertengahan zaman Heian, yukatabira (湯 帷 子)
dijelaskan sebagai pakaian yang dikenakan sewaktu mandi berendam.
Ketika itu, orang mandi sambil memakai yukatabira di pemandian umum, dan
dipakai untuk mengelap keringat, sekaligus menutupi ketelanjangan dari
orang lain. Bahan yukata bira adalah kain rami yang cepat kering kalau
diperas.
Sejak
sekitar zaman Azuchi-Momoyama, yukatabira dipakai orang sebagai pakaian
sesudah mandi, untuk menyerap basah seusai mandi. Kalangan rakyat zaman
Edo sangat menyenangi yukatabira hingga disingkat sebagai yukata.
Ketika itu, yukata bukanlah pakaian sopan yang dipakai untuk bertemu
dengan orang lain, melainkan hanya pakaian tidur.
Berbeda
dari kimono jenis lainnya, menjahit yukata sangat mudah. Yukata
memiliki pola yang sangat sederhana, dan dijahit tanpa kain pelapis di
bagian pinggul atau pundak. Hingga seusai Perang Dunia II, cara menjahit
yukata diajarkan kepada murid perempuan sekolah menengah umum di
Jepang.
3. KIMONO PRIA
Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam.
Kimono paling formal berupa setelan montsuki hitam dengan hakamadan haori.
Bagian
punggungmontsuki dihiasi lambang keluarga pemakai. Setelan montsuki
yang dikenakan bersama hakama dan haori merupakan busana pengantin pria
tradisional. Setelan ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara
sangat resmi, misalnya resepsi pemberian penghargaan dari
kaisar/pemerintah atau seijin shiki.
Kimono santai kinagashi
Pria
mengenakan kinagashi sebagai pakaian sehari-hari atau ketika keluar
rumah pada kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki mengenakannya ketika
berlatih. Kimono jenis ini tidak dihiasi dengan lambang keluarga
4. Sejarah kimono
Zaman Jomon dan zaman Yayoi
Kimono
zaman Jomon dan zaman Yayoi berbentuk seperti baju terusan. Dari situs
arkeologi tumpukan kulit kerang zaman Jomon ditemukan haniwa. Pakaian
atas yang dikenakanhan iwa disebut kantoi (貫頭衣).
Dalam
Gishiwajinden (buku sejarah Cina mengenai tiga negara) ditulis tentang
pakaian sederhana untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan secara
horizontal pada tubuh pria seperti pakaian biksu, dan sehelai kain
dililitkan di kepala. Pakaian wanita dinamakankantoi. Di tengah sehelai
kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali digunakan sebagai
pengikat di bagian pinggang.
Masih
menurut Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku
(sebutan zaman dulu untuk Jepang) "selalu mengenakan pakaian kantoi
berwarna putih". Serat rami merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa,
sementara orang berpangkat mengenakan kain sutra.
Zaman Kofun
Pakaian
zaman Kofun mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan terdiri dari dua
potong pakaian: pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa mengenakan baju
atas seperti mantel yang dipakai menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah
berupa rok yang dililitkan di pinggang. Dari penemuan haniwa terlihat
pakaian berupa celana berpipa lebar seperti hakama.
Pada
zaman Kofun mulai dikenal pakaian yang dijahit. Bagian depan kantoi
dibuat terbuka dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit agar mudah
dipakai. Selanjutnya, baju atas terdiri dari dua jenis kerah:
- Kerah datar sampai persis di bawah leher (agekubi)
- Kerah berbentuk huruf "V" (tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada.
Zaman Nara
Aristokrat
zaman Asuka bernama Pangeran Shotoku menetapkan dua belas strata
jabatan dalam istana kaisar (kan-i jūnikai). Pejabat istana dibedakan
menurut warna hiasan penutup kepala (kanmuri). Dalam kitab hukum Taiho
Ritsuryo dimuat peraturan tentang busana resmi, busana pegawai istana,
dan pakaian seragam dalam istana. Pakaian formal yang dikenakan pejabat
sipil (bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak. Pejabat militer
mengenakan pakaian formal yang tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar
pemakainya bebas bergerak. Busana dan aksesori zaman Nara banyak
dipengaruhi budaya Cina yang masuk ke Jepang. Pengaruh budaya Dinasti
Tang ikut mempopulerkan baju berlengan sempit yang disebut kosode untuk
dikenakan sebagai pakaian dalam.
Pada
zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan kimono. Kalau
sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerah bagian kanan,
sejak zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian
kiri. Cara mengenakan kimono dari zaman Nara terus dipertahankan hingga
kini. Hanya orang meninggal dipakaikan kimono dengan kerah kiri berada
di bawah kerah kanan.
Zaman Heian
Menurut
aristokrat Sugawara Michizane, penghentian pengiriman utusan Jepang
untuk Dinasti Tang (kentoshi) memicu pertumbuhan budaya lokal. Tata cara
berbusana dan standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal mulai
ditetapkan secara resmi. Ketetapan tersebut berakibat semakin rumitnya
tata busana zaman Heian. Wanita zaman Heian mengenakan pakaian
berlapis-lapis yang disebut jūnihitoe. Tidak hanya wanita zaman Heian,
pakaian formal untuk militer juga menjadi tidak praktis.
Ada tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:
- Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)
- I-kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari sokutai)
- Noshi (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan).
Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut suikan atau kariginu (狩 衣
, arti harafiah: baju berburu). Di kemudian hari, kalangan aristokrat
menjadikan kariginu sebagai pakaian sehari-hari sebelum diikuti kalangan
samurai.
Pada
zaman Heian terjadi pengambil alihan kekuasaan oleh kalangan samurai,
dan bangsawan istana dijauhkan dari dunia politik. Pakaian yang dulunya
merupakan simbol status bangsawan istana dijadikan simbol status
kalangan samurai.
Zaman Kamakura dan zaman Muromachi
Pada
zaman Sengoku, kekuasaan pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai
mengenakan pakaian yang disebutsuikan. Pakaian jenis ini nantinya
berubah menjadi pakaian yang disebuthitatare. Pada zaman
Muromachi,hitatare merupakan pakaian resmi
samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang disebutsuō (素 襖
), yakni sejenis hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis dalam.
Ciri khas suō adalah lambang keluarga dalam ukuran besar di delapan
tempat.
Pakaian wanita juga makin sederhana. Rok bawah yang disebutmo (裳
) makin pendek sebelum diganti denganhaka ma. Setelanmo danhaka ma
akhirnya hilang sebelum diganti dengan kimono model terusan, dan
kemudian kimono wanita yang disebutkosode. Wanita mengenakankosode
dengan kain yang dililitkan di sekitar pinggang (koshimaki) dan/atauyu
maki. Mantel panjang yang disebutuchikake dipakai setelah memakai
kosode.
Awal zaman Edo
Penyederhaan
pakaian samurai berlanjut hingga zaman Edo. Pakaian samurai zaman Edo
adalah setelan berpundak lebar yang disebut kamishimo (裃 ). Satu setel kamishimo terdiri dari kataginu (肩 衣 ) dan hakama. Di kalangan wanita, kosode menjadi semakin populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren busana.
Zaman
Edo adalah zaman keemasan panggung sandiwara kabuki. Penemuan cara
penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut nishiki-e atau ukiyo-e
mendorong makin banyaknya lukisan pemeran kabuki yang mengenakan kimono
mahal dan gemerlap. Pakaian orang kotapun cenderung makin mewah karena
iking meniru pakaian aktor kabuki.
Kecenderungan
orang kota berpakaian semakin bagus dan jauh dari norma konfusianisme
ingin dibatasi oleh Keshogunan Edo. Secara bertahap pemerintah
keshogunan memaksakan kenyaku-rei, yakni norma kehidupan sederhana yang
pantas. Pemaksaan tersebut gagal karena keinginan rakyat untuk
berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh menjadi
sebab kegagalan kenyaku- rei. Orang menghadiri upacara minum teh
memakai kimono yang terlihat sederhana namun ternyata berharga mahal.
Tali
pinggang kumihimo dan gaya mengikat obi di punggung mulai dikenal sejak
zaman Edo. Hingga kini, keduanya bertahan sebagai aksesori sewaktu
mengenakan kimono.
Akhir zaman Edo
Politik
isolasi (sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra. Kimono mulai
dibuat dari benang sutra produksi dalam negeri. Pakaian rakyat dibuat
dari kain sutra jenis crape lebih murah. Setelah terjadi kelaparan zaman
Temmei (1783-1788), Keshogunan Edo pada tahun 1785 melarang rakyat
untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian orang kota dibuat dari kain
katun atau kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk awal
dari furisode populer di kalangan wanita.
Zaman Meiji dan zaman Taisho
Industri
berkembang maju pada zaman Meiji. Produksi sutra meningkat, dan Jepang
menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan
mulai dikenal berjenis-jenis kain sutra. Peraturan pemakaian benang
sutra dinyatakan tidak berlaku. Kimono untuk wanita mulai dibuat dari
berbagai macam jenis kain sutra. Industri pemintalan sutra didirikan di
berbagai tempat di Jepang. Sejalan dengan pesatnya perkembangan industri
pemintalan, industri tekstil benang sutra ikut berkembang. Produknya berupa berbagai kain sutra, mulai dari kain krep, rinzu, omeshi, hingga meisen.
Tersedianya
beraneka jenis kain yang dapat diproses menyebabkan berkembangnya
teknik pencelupan kain. Pada zaman Meiji mulai dikenal teknik yuzen,
yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan corak kain di atas kain
kimono.
Sementara
itu, wanita kalangan atas masih menggemari kain sutra yang bermotif
garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus. Mereka
mengenakan kimono dari model kain yang sudah populer sejak zaman Edo
sebagai pakaian terbaik sewaktu menghadiri acara istimewa. Hampir pada
waktu yang bersamaan, kain sutra hasil tenunan benang berwarna-warni
hasil pencelupan mulai disukai orang.
Tidak
lama setelah pakaian impor dari Barat mulai masuk ke Jepang, penjahit
lokal mulai bisa membuat pakaian Barat. Sejak itu pula, istilah wafuku
dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang
dengan pakaian dari Barat. Ketika pakaian Barat mulai dikenal di Jepang,
kalangan atas memakai pakaian Barat yang dipinjam dari toko persewaan
pakaian Barat.
Di
era modernisasi Meiji, bangsawan istana mengganti kimono dengan pakaian
Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang kota yang
ingin melestarikan tradisi estetika keindahan tradisional tidak menjadi
terpengaruh. Orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi
yang dipelihara sejak zaman Edo. Sebagian besar pria zaman Meiji masih
memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Setelan jas sebagai busana
formal pria juga mulai populer. Sebagian besar wanita zaman Meiji masih
mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang
bertugas mengajar anak-anak perempuan.
Seragam
militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer. Seragam
tentara angkatan darat menjadi model untuk seragam sekolah anak
laki-laki. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri
yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand-up collar)
persis model kerah seragam tentara. Pada akhir zaman Taisho, pemerintah
menjalankan kebijakan mobilisasi. Seragam anak sekolah perempuan diganti
dari andonbakama (kimono dan hakama) menjadi pakaian Barat yang disebut
serafuku (sailor fuku), yakni setelan blus mirip pakaian pelaut dan
rok.
Zaman Showa
Semasa
perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki.
Pakaian seragam untuk laki-laki disebut kokumin fuku (seragam rakyat).
Wanita dipaksa memakai monpei yang berbentuk seperti celana panjang
untuk kerja dengan karet di bagian pergelangan kaki.
Setelah
Jepang kalah dalam Perang Dunia II, wanita Jepang mulai kembali
mengenakan kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena tuntutan
modernisasi. Dibandingan kerumitan memakai kimono, pakaian Barat
dianggap lebih praktis sebagai pakaian sehari-hari.
Hingga
pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai wanita Jepang
sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono terangkat
kembali setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol.
Wanita zaman itu menyukai kimono dari wol sebagai pakaian untuk
kesempatan santai.
Setelah
kimono tidak lagi populer, pedagang kimono mencoba berbagai macam
strategi untuk meningkatkan angka penjualan kimono. Salah satu di
antaranya dengan mengeluarkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut
yakusoku. Menurut peraturan tersebut, kimono jenis tertentu dikatakan
hanya cocok dengan aksesori tertentu. Maksudnya untuk mendikte pembeli
agar membeli sebanyak mungkin barang. Strategi tersebut ternyata tidak
disukai konsumen, dan minat masyarakat terhadap kimono makin menurun.
Walaupun pedagang kimono melakukan promosi besar-besaran, opini "memakai
kimono itu ruwet" sudah terbentuk di tengah masyarakat Jepang.
Hingga
tahun 1960-an, kimono masih dipakai pria sebagai pakaian santai di
rumah. Gambar pria yang mengenakan kimono di rumah masih bisa dilihat
dalam berbagai manga terbitan tahun 1970-an. Namun sekarang ini, kimono
tidak dikenakan pria sebagai pakaian di rumah, kecuali samue yang
dikenakan para perajin.
5. Asesori dan pelengkap
a. Hakama
Hakama (袴 ) adalah pakaian luar tradisional Jepang yang dipakai untuk menutupi pinggang sampa i mata kaki.
Dipakai
sebagai pakaian bagian bawah, hakama merupakan busana resmi pria untuk
menghadiri acara formal seperti upacara minum teh, pesta pernikahan, dan
seijin shiki. Anak laki-laki mengenakannya sewaktu merayakan
Shichi-Go-San. Montsuki yang dikenakan bersama hakama danhaori merupakan
setelan baju pengantin pria tradisional.
Di
kalangan olahraga bela diri tradisional sepertikendo, aikido, dank
yūdō, hakama dipakai oleh pria dan wanita. Ketika tidak sedang bergulat,
pesumo mengenakan kimono dan hakama ketika tampil di muka umum. Di
kalangan Shinto, setelan kimono dan hakama adalah pakaian resmi kannushi
danmiko.
Bentuk
Hakama
dibuat dari dua lembar kain polos berbentuk trapesium. Bagian depan
diploi, 3 dari sisi kiri, dan 3 dari sisi kanan. Bagian belakang tidak
diploi, namun dibagi menjadi bagian kiri dan kanan. Kain bagian depan
dan kain bagian belakang, dari pinggang ke lutut dibiarkan tidak
dijahit, dan hanya dijahit dari bagian lutut ke bawah.
Pada
kain bagian belakang terdapat koshi-ita yang berbentuk trapesium dari
papan atau kain keras yang dilapis kain. Di bawah koshi-ita dilengkapi
sendok sepatu berukuran kecil yang disebut hera. Kegunaannya untuk
diselipkan ke obi agar hakama tidak melorot
Hakama
dikencangkan dengan empat buah tali, dua buah tali yang lebih panjang
terdapat di bagian depan, kiri dan kanan, sementara dua tali yang lebih
pendek terdapat di bagian belakang, kiri dan kanan.
Jenis
- Umanoribakama (馬乗袴)
Kedua
belah tungkai dibungkus seperti halnya sewaktu mengenakan celana
panjang karena adanya jahitan mulai dari bagian selakangan hingga
pergelangan kaki. Bagian bawah melebar sehingga pemakainya mudah
bergerak. Jenis inilah yang dikenakan orang di kalangan bela diri
tradisional.
- Andonbakama (行灯袴)
Dikenakan
seperti halnya rok, andonbakama tidak membungkus kedua belah tungkai
pemakainya. Dibandingkan umanoribakama, pemakainya kurang leluasa
bergerak. Seperti halnya umanoribakama, andonbakama dipakai sebagai
pakaian resmi. Mahasiswi mengenakan andonbakama bersama koburisode
sewaktu diwisuda
- Machiaribakama (襠有袴)
Seperti halnya kulot, kain dijahit di bagian selangkangan, mulai dari lutut ke bawah.
- Nobakama (襠 有 袴 )
Bagian pergelakangan kaki dibuat sempit agar pemakainya leluasa bergerak, dan hanya dipakai sebagai celana sehari-hari.
Sejarah
Walaupun sekarang dikenakan oleh pria dan wanita, hakama hingga zaman Edo
hanya
dipakai oleh pria. Laki-laki zaman zaman Yayoi mengenakan pakaian
bagian bawah seperti celana panjang. Dari situs arkeologi ditemukan
haniwa yang mengenakan pakaian seperti celana. Hakama yang dikenal orang
sekarang, berasal dari celana yang dikenakan samurai sekitar zaman
Kamakura. Ketika itu ada berbagai model hakama, di antaranya
umanoribakana untuk menunggang kuda, nobakama, dan hakama untuk kendo.
Tradisi
mahasiswi mengenakan koburisode dan hakama ketika diwisuda merupakan
peninggalan zaman Meiji. Ketika itu, perempuan mulai diizinkan
bersekolah, dan mereka mengenakan kimono sewaktu pergi ke sekolah.
Ketika duduk di kursi, bagian bawah kimono menjadi tidak rapi.
Kementerian Pendidikan Jepang sewaktu mendirikan sekolah putri
menetapkan setelan kimono dan hakama yang dulunya hanya dipakai pria,
sebagai seragam untuk murid perempuan dan guru wanita.
b. Geta
Geta (下 駄)
adalah alas kaki tradisional Jepang yang dibuat dari kayu. Pada bagian
alas (dai) terdapat tiga buah lubang untuk memasukkan tali berlapis kain
yang disebut hanao (鼻 緒 ). Dua buah hak yang disebut ha ("gigi") terdapat di bagian bawah alas (sol).
Geta
dipakai di luar ruangan sewaktu mengenakan yukata atau kimono yang
bukan kimono formal. Hak tinggi pada geta memudahkan pemakainya berjalan
melewati jalan becek ketika hujan.
Geta dipakai dengan kaki telanjang (sewaktu mengenakan yukata) atau dengan
mengenakan
kaus kaki yang disebut tabi. Cara memakai geta seperti cara memakai
sandal jepit, hanao dijepit di antara ibu jari dan telunjuk kaki.
Sewaktu mengenakan yukata, geta dipakai dengan kaki telanjang. Pemandian
air panas (onsen) dan penginapan tradisional (ryokan) biasanya
menyediakan geta yang bisa dipinjam oleh tamu.
Menurut pendengaran orang Jepang, "karankoron" adalah bunyi geta ketika dipakai berjalan. Dalam mitologi Jepang,Tengu mengenakan geta berhak satu seperti dikenakan biksu yang sedang melatih diri di hutan dan gunung.
Sejarah geta
Berdasarkan
hasil penggalian di situs arkeologi terungkap bahwa geta sudah dipakai
orang Jepang sejak zaman Yayoi. Geta diperkirakan dipakai sewaktu
bekerja menanam padi di sawah yang selalu berair agar kaki tetap bersih
dan kering. Dalam esai klasik Makura no Sōshi dari zaman Heian disebut
tentang alas kaki yang disebut Kure no ashida (nama lain untuk geta).
Dalam lukisan dari akhir zaman Heian hingga zaman Sengoku juga sering
digambarkan orang yang sedang memakai geta sewaktu mencuci atau
mengambil air.
Pengrajin
geta banyak bermunculan sejak pertengahan zaman Edo. Mereka menciptakan
berbagai jenis geta yang membuat geta populer sebagai alas kaki rakyat.
Orang mulai menyebut semua alas kaki dari kayu seperti bokuri atau
ashida sebagai geta.
Walaupun pakaian Barat mulai dikenal di Jepang sejak zaman Meiji, rakyat tetap mengenakan kimono dengan alas kaki berupa geta.
c.Kanzashi
Kanzashi adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.
d.Obi
Obi (帯) adalah sabuk pinggang dari kain yang dipakai sewaktu mengenakan kimono atau keikogi.
Obi
untuk kimono umumnya dibuat dari kain sutra. Kimono pria dikenakan
bersama obi dari kain kaku yang sempit, atau kain lentur yang panjang.
Kimono wanita dikenakan bersama obi berhiaskan corak tenun atau bordir.
Obi dililitkan seperti halnya memakai setagen.
Jenis obi
Obi wanita
Menurut
ukuran lebar kain, secara garis besar, paling tidak terdapat tiga jenis
obi. Masing- masing obi hanya cocok dipakai bersama jenis kimono
tertentu.
• Fukuro obi (lebar 31 cm, panjang 4,2 m) untuk kimono formal (tomesode, furisode,
iromuji, tsukesage), dari kain bercorak yang mewah hasil tenunan.
• Nagoya obi (lebar 16 cm dan 31 cm, panjang 3,65 m) untuk komondan tsumugi, dari
kain bercorak di dua tempat (depan dan belakang) hasil pencelupan atau tenun.
• Hanhaba obi (lebar 15,2 cm, panjang 3,65 m) untuk yukata dan tsumugi, dari kain
warna bercorak sepanjang kain hasil tenunan atau tanpa corak.
Obi pria
• Kaku obi (lebar 10 cm, panjang 4 m) untuk kimono formal.
• Heko obi dari kain lentur dan tipis untuk kimono pakaian santai di rumah, diikat di
belakang seperti ikatan kupu-kupu, juga sewaktu anak laki-laki dan perempuan
mengenakan yukata.
Model ikatan
Obi wanita
Fukuro obi
• Nijūdaiko (versi ikatan taiko yang terdiri dari dua lapis), untuk semua umur
• Fukura suzume untuk furisode
• Bunko untuk wanita muda
Nagoya obi
• Taiko untuk semua umur
Hanhaba obi
• Bunko untuk yukata
• Kai no kuchi (mulut kerang) untuk kimono santai (yukata)
Obi pria
• Kai no kuchi
• Shokunin
• Katabasami
Perlengkapan
Obi dikenakan bersama obiage dan obijime
• Obi-age, kain berwarna yang dililitkan di bawah obi supaya obi tidak melorot.
• Obi-jime, tali kecil yang diikat di atas obi supaya letak obi tidak berubah, atau
membantu ikatan obi.
e. Tabi
Tabi
adalah kaus kaki sepanjang betis yang dibelah dua pada bagian jari kaki
untuk memisahkan jempol kaki dengan jari-jari kaki yang lain. Tabi
dipakai sewaktu memakai sandal, walaupun ada Tabi dari kain keras yang
dapat dipakai begitu saja seperti sepatu bot.
f. Waraji
Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.
g. Zōri
Zōri (草 履
) adalah alas kaki yang dipakai orang Jepang hingga dikenalnya sepatu
pada zaman Meiji. Di masa sekarang, orang Jepang hanya memakai zōri
sewaktu mengenakan kimono. Berbeda dari geta yang bukan alas kaki untuk
kesempatan resmi, zōri dipakai untuk segala kesempatan, termasuk sewaktu
mengenakan kimono formal. Cara memakainya seperti memakai sandal jepit.
Alas
(sol) berbentuk lonjong seperti keping uang zaman dulu. Berbeda dari
geta, bagian alas zōri selalu datar dan tidak mempunyai hak (tumit).
Pada zaman dulu, bahan untuk alas adalah lembaran gabus, namun sekarang
sudah digantikan dengan lembaran plastik. Bahan pembungkus alas adalah
kulit, kain, atau plastik. Pada bagian alas (dai) terdapat tiga buah
lubang untuk memasukkan tali tebal yang disebut hanao yang menahan
sandal agar tidak terlepas sewaktu dipakai berjalan.
Jenis
• Zōri wanita
Dibandingkan
model santai, bagian alas zōri wanita untuk dipakai dalam kesempatan
formal dibuat lebih tebal dengan bagian belakang yang ditinggikan
(dibuat ekstra tebal). Agar dasar tidak cepat aus, plastik uretan
ditempelkan di bagian dasar yang bersentuhan dengan tanah.
• Setta (雪駄) (zōri laki-laki)
hampir persegi panjang, dengan bagian bawah yang dilapis kulit sapi atau
plastik uretan. Hingga saat ini, setta masih banyak penggemarnya.
• Zōri tatami
Bahan
dari serat tanaman Igusa sehingga disebut tatami omote zōri (zōri
permukaan tatami). Pada zaman dulu merupakan alas kaki favorit bagi
laki-laki. Sekarang sudah langka dan hanya bertahan sebagai alas kaki
aktor kabuki.
• Waraji (草鞋) (warazōri)
Disebut
waraji karena dibuat dari anyaman jerami (wara), dan sering dibuat
sendiri oleh petani yang memerlukannya alas kaki. Pada zaman dulu, pria
atau wanita memakainya sewaktu bekerja atau bepergian jauh. Tali
tambahan untuk diikatkan ke pergelangan kaki merupakan ciri khas model
yang dibuat untuk berjalan jauh.
Thank you very much :)
ReplyDeletekerennn!!!
ReplyDeleteijin copas ya kak,, buat tugas sekolah :)